Ubasute, Legenda Menelantarkan Ibu di Hutan
aneh Sejarah SeramHalo emosi muda,.. Assalamualaikum. Jika ditanya pada kebanyakan orang, siapakah sosok paling mulia bagi pribadi mereka masing-masing, tentulah saya yakin paling umum jawabannya adalah ibu, wanita yang melahirkan kita, tak ada yg lebih berjasa dari pengorbanannya dalam melahirkan dan merawat kita.
Tradisi Menelantarkan Orang Tua?
Kemuliaan sosok seorang ibu tak tertandingi dengan yang lainnya. Dan dengan itu pula kita berbakti semampu mungkin untuk merawat dan membahagiakannya, namun ternyata tidak semua budaya di dunia ini bisa dikatakan cukup sangat menghormati seorang ibu, bahkan di usianya yang sudah cukup renta. Legenda mengatakan bahwa pada masa-masa sulit, para keluarga di negeri sakura Jepang akan meninggalkan orang tua mereka di dalam hutan. Bagaimana hal itu terjadi? Dan apakah itu memang benar-benar terjadi sama sekali? Mari kita bahas dibawah ini.
Ubasute
Praktik Ubasute menandai masa gelap dalam sejarah di negeri Jepang, tapi apakah itu pernah benar-benar terjadi hingga saat ini masih terus dipertanyakan. Ubasute terjun mencapai di kejauhan masa lalu Jepang, peristiwa ini digambarkannya sama kejamnya seperti banyak cerita mengerikan lainnya.Secara harfiah "Ubasute" diterjemahkan sebagai aksi "meninggalkan wanita tua," legenda tersebut mengatakan bahwa keluarga-keluarga yang menghadapi masa-masa sulit di duga yang paling terlibat dalam tindakan tersebut, memaksa anak laki-laki mereka untuk membawa ibunya yang telah tua ke puncak gunung sebelum akhirnya meninggalkan ibu mereka di sana, membiarkan wanita-wanita lemah ini meninggal dalam keperihan tiada tara.
Hal tersebut dilakukan dalam upaya untuk memangkas biaya kehidupan selama masa paceklik yang berujung pada bencana kelaparan.
Sementara banyak juga yang percaya bahwa kisah tentang praktik ini sebenarnya sama sekali tidak benar, ada yang mengatakan bahwa Ubasute inilah yang pertama-tama sekali membentuk hutan legendaris Aokigahara sebagai tempat bunuh diri yang terkenal di Jepang.
Sementara banyak juga yang percaya bahwa kisah tentang praktik ini sebenarnya sama sekali tidak benar, ada yang mengatakan bahwa Ubasute inilah yang pertama-tama sekali membentuk hutan legendaris Aokigahara sebagai tempat bunuh diri yang terkenal di Jepang.
Asal usul Ubasute
Dan jika kita merasa legenda ini memang benar adanya, maka kemungkinan besar Ubasute pernah berjalan seperti berikut: Prevalensi praktik tersebut secara langsung berhubungan dengan kondisi tingkat ekonomi di daerah tertentu, di mana tahun-tahun kekeringan atau paceklik akan menimbulkan momok kelaparan di kalangan banyak keluarga Jepang.Entah akibat hujan yang tidak kunjung turun atau banjir, serangga pemakan tanaman, letusan gunung berapi yang merusak pertanian seperti meletusnya gunung Asama pada tahun 1783, yang memulai bencana besar kelaparan Tenmei yang menyebabkan banyak produksi pertanian terhenti, ini juga yang menyebabkan masa-masa sulit yang diharapkan tidak akan pernah terulang kembali.
Dengan keadaan sangat sedikitnya makanan dan sejumlah mulut yang harus diberi makan, maka kondisi buruk tersebut membuat keluarga Jepang mengambil tindakan ekstrim untuk memastikan kelangsungan hidup.
Dengan keadaan sangat sedikitnya makanan dan sejumlah mulut yang harus diberi makan, maka kondisi buruk tersebut membuat keluarga Jepang mengambil tindakan ekstrim untuk memastikan kelangsungan hidup.
Dan menurut cerita rakyat, itulah yang mereka lakukan. Dengan membatasi jumlah mulut untuk diberi makan, tentu jumlah makanan yang sangat sedikit tersebut diharapkan akan lebih bertahan lebih lama. Sayangnya, bagi orang tua dalam keluarga yang tidak dapat bekerja atau merawat diri mereka sendiri, atau istilahnya sudah renta, lantas menjadikan mereka sebagai pilihan paling praktis untuk tidak dipertahankan. Inilah detail yang membuat kisah Ubasute begitu menarik.
Pertama, pihak keluarga akan memilih mereka yang sudah sangat tua, seringkalinya seorang wanita, yang kelak akan disingkirkan. Dengan menggendong mereka di punggung putranya, wanita tua itu akan di bawa mendaki ke puncak gunung.
Pertama, pihak keluarga akan memilih mereka yang sudah sangat tua, seringkalinya seorang wanita, yang kelak akan disingkirkan. Dengan menggendong mereka di punggung putranya, wanita tua itu akan di bawa mendaki ke puncak gunung.
Wanita tua tersebut di sepanjang perjalanan akan meraih potongan ranting dan dedaunan dari pohon-pohon di dekatnya untuk kemudian menjatuhkannya ke tanah.
Tanda-tanda kecil ini diharapkan akan membentuk jalan pulang bagi anaknya untuk diikuti agar anaknya bisa kembali dari puncak gunung menuju rumah tanpa tersesat, hal tersebut menunjukkan bahwa mereka yang ditinggalkan memang memilih untuk berpartisipasi dalam ritual tersebut, mengorbankan hidup mereka sendiri untuk kesejahteraan keluarga dalam jangka panjang.
Begitu sampai di puncak, anak tersebut akan meninggalkan ibunya dan mulai turun dari gunung. Wanita tua itu tidak akan melakukan apa-apa selain menunggu dalam kesendirian malam demi malam, sampai akhirnya bertemu dengan malaikat kematiannya karena kelaparan, dehidrasi, atau hipotermia (kedinginan), atau kombinasi dari itu semua yang tentunya akan menjadi cara yang sangat mengerikan untuk mati.
Tidak semua legenda mengatakan bahwa mereka membawa wanita tua ke puncak gunung. Beberapa keluarga memilih untuk meninggalkan orang tua yang mereka cintai jauh di dalam area berhutan lebat.
Intinya, variasi lokasi ini tujuan utamanya adalah untuk memastikan posisi orang tua mereka di sebuah lokasi di mana tidak ada makanan, tempat tinggal atau kontak dengan manusia, sebuah lokasi yang diharapkan bisa menjamin datangnya kematian, meskipun cara tersebut sangat lambat dan menyakitkan.
Tanda-tanda kecil ini diharapkan akan membentuk jalan pulang bagi anaknya untuk diikuti agar anaknya bisa kembali dari puncak gunung menuju rumah tanpa tersesat, hal tersebut menunjukkan bahwa mereka yang ditinggalkan memang memilih untuk berpartisipasi dalam ritual tersebut, mengorbankan hidup mereka sendiri untuk kesejahteraan keluarga dalam jangka panjang.
Begitu sampai di puncak, anak tersebut akan meninggalkan ibunya dan mulai turun dari gunung. Wanita tua itu tidak akan melakukan apa-apa selain menunggu dalam kesendirian malam demi malam, sampai akhirnya bertemu dengan malaikat kematiannya karena kelaparan, dehidrasi, atau hipotermia (kedinginan), atau kombinasi dari itu semua yang tentunya akan menjadi cara yang sangat mengerikan untuk mati.
Tidak semua legenda mengatakan bahwa mereka membawa wanita tua ke puncak gunung. Beberapa keluarga memilih untuk meninggalkan orang tua yang mereka cintai jauh di dalam area berhutan lebat.
Intinya, variasi lokasi ini tujuan utamanya adalah untuk memastikan posisi orang tua mereka di sebuah lokasi di mana tidak ada makanan, tempat tinggal atau kontak dengan manusia, sebuah lokasi yang diharapkan bisa menjamin datangnya kematian, meskipun cara tersebut sangat lambat dan menyakitkan.
Beberapanya bahkan berspekulasi bahwa "Hutan Bunuh Diri" yang terkenal dengan nama Aokigahara, yang terletak di lembah gunung Fuji, juga menjabat sebagai salah satu lokasi Ubasute.
Hutan bunuh diri Aokigahara |
Terlepas dari detail hebat di balik legenda tersebut, namun, tidak ada bukti nyata yang membuktikan keberadaan praktik Ubasute ini, setidaknya bukan sebagai praktik budaya atau tradisi yang umum, atau bahkan sesuatu yang dianggap jarang terjadi.
Namun bagaimanapun juga, pada tahun 2015 lalu, seorang pria Jepang berusia 63 tahun bernama Katsuo Kurakawa mengaku pernah melakukan Ubasute persis seperti apa yang digambarkan oleh legenda tersebut. Setelah tragedi gempa dan tsunami di tahun 2011 yang menghancurkan rumahnya di Sanmu, saudarinya yang berusia 60 tahun yang bernama Sachiko menjadi cacat dan mengalami kesulitan untuk berjalan sendiri.
"Kami tidak bisa tinggal di rumah kami setelah bencana dan adik saya menjadi merepotkan," kata Kurokawa kepada polisi. Tanpa tempat tinggal dan adik perempuannya yang membutuhkan perhatian medis sepanjang waktu, Kurakawa mengakui bahwa dia memberi adiknya sedikit makanan sebelum mengantarkannya ke sebuah daerah terpencil di prefektur Chiba, tempat dia meninggalkan adiknya yang cacat dan membiarkannya mati.
Meski tak terpikirkan oleh banyak orang, Kurakawa bukanlah satu-satunya orang yang ikut serta dalam mempraktikkan Ubasute ini. Dan di banyak belahan dunia, aktivitas keji ini dikenal juga sebagai Senicide.
Namun bagaimanapun juga, pada tahun 2015 lalu, seorang pria Jepang berusia 63 tahun bernama Katsuo Kurakawa mengaku pernah melakukan Ubasute persis seperti apa yang digambarkan oleh legenda tersebut. Setelah tragedi gempa dan tsunami di tahun 2011 yang menghancurkan rumahnya di Sanmu, saudarinya yang berusia 60 tahun yang bernama Sachiko menjadi cacat dan mengalami kesulitan untuk berjalan sendiri.
"Kami tidak bisa tinggal di rumah kami setelah bencana dan adik saya menjadi merepotkan," kata Kurokawa kepada polisi. Tanpa tempat tinggal dan adik perempuannya yang membutuhkan perhatian medis sepanjang waktu, Kurakawa mengakui bahwa dia memberi adiknya sedikit makanan sebelum mengantarkannya ke sebuah daerah terpencil di prefektur Chiba, tempat dia meninggalkan adiknya yang cacat dan membiarkannya mati.
Meski tak terpikirkan oleh banyak orang, Kurakawa bukanlah satu-satunya orang yang ikut serta dalam mempraktikkan Ubasute ini. Dan di banyak belahan dunia, aktivitas keji ini dikenal juga sebagai Senicide.
Memang, pembunuhan seremonial terhadap para orang tua telah terjadi di sepanjang sejarah dan di berbagai lokasi, di mulai dari orang-orang romawi kuno yang melemparkan orang-orang berusia di atas 60 tahun ke sungai Tiber hingga tradisi Thalaikoothal di India, sebuah praktik sederhana dari bentuk lain euthanasia, di mana anggota keluarga yang lebih muda secara seremonial membunuh anggota keluarga tua.
Seperti semua bentuk senicide lainnya, kesulitan ekonomi sering kali memberi gagasan Thalaikoothal, meskipun hampir separuh dari mereka yang disurvei menganggap praktik tersebut sebagai tindakan pembunuhan yang di ampuni, dilakukan untuk membebaskan orang tua yang sakit atau cacat dari penderitaannya.
Kembali ke Jepang, apakah Ubasute apokrif atau tidak, namun orang-orang tua Jepang saat ini memiliki kehidupan yang jauh berbeda dari dongeng Ubasute. Sebenarnya, negara Jepang menganggap orang tua sebagai prioritas utama, dan sejak tahun 2000, Jepang menerapkan sistem asuransi jangka panjang yang membantu para keluarga Jepang memberikan perawatan terbaik bagi kerabat tua mereka.
Kembali ke Jepang, apakah Ubasute apokrif atau tidak, namun orang-orang tua Jepang saat ini memiliki kehidupan yang jauh berbeda dari dongeng Ubasute. Sebenarnya, negara Jepang menganggap orang tua sebagai prioritas utama, dan sejak tahun 2000, Jepang menerapkan sistem asuransi jangka panjang yang membantu para keluarga Jepang memberikan perawatan terbaik bagi kerabat tua mereka.
Terus bagaimana dengan Nusantara? Alhamdulillah belum ada tradisi seperti di atas yang terjadi di tempat kita, bahkan Agama serta budaya kearifan lokal selalu memprioritaskan orang tua sebagai manusia yang layak di hormati dan dilindungi, terlebih lagi pada sosok ibu dimana taman-taman syurga berada di bawah telapak kakinya. Semoga menambah pengetahuan anda, sekian, terimakasih dan Wassalamualaikum.