Poin-Poin yang Menjadi Sorotan di UU Cipta Kerja

Poin-Poin yang Menjadi Sorotan di UU Cipta Kerja

Poin-Poin yang Menjadi Sorotan di UU Cipta Kerja


UU Cipta Kerja atau dikenal sebagai Omnibus Law memberikan kesan sangat menarik bagi masyarakat Indonesia belakangan ini. UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020 menuai kontroversial hingga berakibat adanya demonstrasi oleh sebagian masyarakat di beberapa daerah untuk menolak pengesahan UU Cipta Kerja sebagai Undang-Undang. Ketika UU Cipta Kerja akhirnya disahkan, maka akan menggantikan UU Ketenagakerjaan atau Indonesia Labor Law sebelumnya yaitu UU Ketenagakerjaan Tahun 2013.


Point Sorotan di UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan berusaha bagi pelaku industri, justru menunjukkan ada beberapa pasal yang menjadi poin perhatian bagi masyarakat Indonesia. Sebagian besar poin-poin yang menjadi perhatian tersebut, berhubungan dengan ketenagakerjaan di Indonesia atau bahasa lainnya Indonesia Labor Law. Tulisan ini akan menunjukkan poin apa saja yang menjadi sorotan khususnya yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Penting juga untuk semua Law Firm memahami setiap konteks yang menjadi sorotan di Undang-Undang ini.


Penentuan Upah

Upah-upah yang dimaksud adalah Upah Minimum Sektoral dan juga penentuan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Upah minimum sektoral sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), tidak diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Oleh sebab itu, jika UU Cipta Kerja akan berlaku sebagai Undang-Undang, maka para pelaku usaha kedepannya akan memberikan upah berdasarkan batasan yang ditetapkan melalui Upah Minimum Kabupaten/Kota.

Selain itu, yang menuai kontroversi adalah penentuan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil dalam Pasal 88B UU Cipta Kerja. Berdasarkan analisis, bahwa penentuan upah ini akan memberikan wewenang kepada pelaku usaha untuk menentukan upah berdasarkan tugas yang dilakukan oleh pekerja. Selanjutnya, dalam UU Cipta Kerja juga dihapuskan mengenai sanksi bagi pelaku usaha yang memberikan upah di bawah ketentuan upah minimum. Hilangnya sanksi ini, memberikan kekhawatiran bagi masyarakat dalam mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.


Kontrak Kerja

Kontrak kerja atau sering disebut sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibahas di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Masalahnya yang menjadi perhatian adalah penentuan jangka waktu dalam PKWT. Di dalam UU Ketenagakerjaan, PKWT ditentukan paling lama 2 (dua) tahun dan boleh diperpanjang hanya 1 (satu) kali dengan waktu 1 (satu) tahun. Sedangkan, di dalam UU Cipta Kerja, jangka waktu PKWT ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pelaku usaha.

UU Cipta Kerja menghapus poin mengenai sanksi bagi pelaku usaha yang membuat PKWT tidak secara tertulis yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan bahwa PKWT yang dibuat dengan tidak tertulis akan dianggap sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).


Uang Pesangon

UU Cipta Kerja tetap mengatur mengenai pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), namun yang menjadi sorotan adalah perbedaan jumlah yang diterima oleh pekerja yang terkena PHK. Di UU Ketenagakerjaan sebelumnya, pesangon yang diterima adalah dimulai dari jumlah minimal upah berdasarkan masa kerja, sedangkan dalam UU Cipta Kerja pekerja akan mendapatkan pesangon dengan jumlah maksimal berdasarkan masa kerja. Artinya dalam penentuan jumlah pesangon dalam UU Cipta Kerja justru memberikan batasan jumlah paling banyak yang akan diterima oleh pekerja yang terkena PHK. Hal ini menjadikan poin ini menjadi sorotan terutama bagi para pekerja.


Jam Kerja

Mengenai jam kerja, dalam Pasal 77 ayat (2) Omnibus Law UU Cipta Kerja mengatur mengenai batasan waktu kerja, kecuali bagi sektor tertentu. Pasal tersebut menjadi pasal kontroversial karena dikhawatirkan bagi para pekerja yang bekerja di sektor tertentu, akan mendapatkan aturan jam kerja yang melebihi batas daripada seharusnya.

UU Cipta Kerja ini merupakan salah satu tujuan dari pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia sebanyak-banyaknya. Selain itu, UU ini juga bertujuan untuk menarik investor agar mau berinvestasi di Indonesia baik sebagai pelaku industri sendiri atau melakukan kerja sama dengan perusahaan lokal di Indonesia dengan alasan UU Cipta Kerja bagi pelaku industri memberikan kemudahan dalam hal birokrasi terutama dalam pengurusan perizinan berusaha.

Sangat penting bagi perusahaan untuk memahami apa perubahan yang terjadi dalam Indonesia Labor Law agar tetap menunaikan kewajibannya kepada karyawan. Itulah beberapa poin yang menjadi sorotan khususnya dalam hal ketenagakerjaan di Indonesia. Diharapkan poin-poin ini dapat menjadi perhatian kita sebagai masyarakat, terutama adanya keadilan antara pekerja dengan pelaku usaha.